Warisan Salah, Kades Defenitif Menanggung Dosa Pejabat Sementara
Medianias.ID, Nias Selatan _ Bahkan sebagian desa terpaksa menunda pembangunan, tidak bisa membayar utang pembelian bahan material, dan terjerat konflik dengan masyarakat karena dianggap "menyembunyikan" informasi keuangan.
Padahal, dana itu tidak pernah mereka sentuh. Tapi tiba-tiba, kepala desa yang baru dilantik tahun 2020 itu harus menjelaskan ke warga mengapa uang desa berkurang drastis. Jawaban dari atas: pemotongan. Jawaban dari bawah: kekecewaan.
*Peringatan yang Tak Sampai ke Akar*
Pada Oktober 2020, Pemerintah Kabupaten Nias Selatan melalui surat Sekretaris Daerah telah memerintahkan camat agar memastikan seluruh kepala desa melakukan rekonsiliasi sisa dana desa tahun anggaran 2015–2018. Melalui surat bernomor 140/14635/DPMD/2020, pemerintah daerah menegaskan bahwa jika sisa dana tersebut tidak dilaporkan dan disetor ke kas daerah, maka akan dilakukan pemotongan pada Dana Desa tahap III tahun anggaran berjalan.
Namun, banyak kepala desa hasil Pilkades 2019 yang mengaku tidak mengetahui secara detail tentang proses rekonsiliasi itu. Sebab, sebelum mereka menjabat, desa-desa di Nias Selatan umumnya dipimpin oleh pejabat sementara (Pj) yang ditunjuk oleh bupati dari kalangan ASN. Para kepala desa definitif merasa tidak pernah dilibatkan, tidak pernah diberi penjelasan mendalam, dan tiba-tiba harus menanggung akibatnya.
_“Kami tidak pernah pakai uang itu, dan tidak tahu-menahu soal saldo lama. Tapi kami yang harus menjelaskan ke masyarakat kenapa dana berkurang,” kata seorang kepala desa yang meminta namanya disamarkan._
Pemotongan memang punya dasar administratif, tapi tidak semua kepala desa baru merasa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Mereka tidak tahu siapa yang pernah menggunakan dana yang kini dianggap sebagai “utang desa.” Tak ada ruang klarifikasi, apalagi audit terbuka terhadap pelaku lama.
_“Kalau memang ada sisa, siapa yang menggunakan dana itu? Mengapa kami yang harus membayar kembali?” tanya seorang kepala desa lain._
Selain harus menjelaskan ke warga, mereka juga tetap dituntut memastikan pembangunan berjalan. Beban moral dan teknis ini tidak kecil.
*Ketika Prosedur Menutupi Ketidakadilan*
Dalam edisi sebelumnya, Kepala Inspektorat Nias Selatan, Amsarno Sarumaha, SH.,MH. menyatakan bahwa lembaganya menjalankan fungsi pengawasan dengan prinsip profesional, transparan, dan akuntabel. Ia menyebut, apabila ditemukan ketidaksesuaian dalam pengelolaan dana desa, maka rekomendasi akan diberikan. Jika dalam 60 hari tidak ditindaklanjuti, Inspektorat memiliki wewenang untuk menyerahkannya ke aparat penegak hukum (APH).
Baca: https://www.medianias.id/2025/06/ketika-pengawas-tak-lagi-sekedar.html
Namun pada kenyataannya, hingga kini belum ada informasi terbuka yang menunjukkan bahwa pejabat lama—khususnya Pj kepala desa sebelum 2019—pernah dimintai pertanggungjawaban secara langsung atas dana yang kini dipersoalkan. Audit terhadap mereka, jika pernah dilakukan, tidak diumumkan ke publik.
Sikap ini menimbulkan dugaan bahwa pengawasan yang dilakukan bersifat formalistik: cukup menjalankan alur administrasi, tanpa mempertimbangkan keadilan. Bagi desa yang terdampak, pemotongan terasa seperti vonis sepihak.
Sebagian desa akhirnya merombak ulang rencana kerja tahunan. Beberapa harus meminjam sementara kepada pihak ketiga untuk menutupi kekurangan belanja, dan sebagian lainnya menanggung kecurigaan dari warganya sendiri.
*Keadilan yang Tertinggal*
Keadilan bukan hanya soal angka yang cocok di laporan. Tapi juga soal siapa yang harus bertanggung jawab atas angka itu. Ketika pengawas hanya bicara prosedur, dan bukan substansi, maka yang tertindas adalah mereka yang tak pernah tahu-menahu soal pelanggaran. (DS).