Edisi Ke lll: Pemotongan DD 2021 dan Diamnya Pengawas Dengan Dalil Rekonsiliasi
Medianias.ID, Nias Selatan _ Bagi banyak kepala desa definitif di Nias Selatan, tahun 2021 adalah tahun yang membingungkan. Dana desa yang seharusnya diterima utuh di tahap ketiga mendadak dipotong. Jumlahnya bervariasi, tergantung besaran yang disebut sebagai "sisa dana desa" dari masa lalu.
Potongan itu disebut sebagai bagian dari program rekonsiliasi. Tapi siapa yang menentukan besaran sisa? Apakah desa diberi kesempatan menjelaskan? Dan mengapa setelah uang dikembalikan, tak satu pun pihak lama dimintai pertanggungjawaban?
*Rekonsiliasi di Balik Pintu*
Kepala Dinas PMD Nias Selatan, Albert Duha, menjelaskan bahwa pemotongan dana desa 2021 adalah hasil dari rekonsiliasi atas dana yang tidak terserap atau tidak dilaporkan realisasinya, khususnya dari tahun anggaran 2015–2018. Ia membedakan antara dua jenis rekonsiliasi:
Pertama, rekonsiliasi atas dana desa Rp47 miliar yang sempat tidak disalurkan pada 2015, yang kemudian dikembalikan ke kas negara oleh Pemkab Nias Selatan.
Kedua, rekonsiliasi dana desa di tingkat desa.
“Kalau yang ini, itu kan dana sisa. Maksudnya supaya dilaporkan realisasinya. Baru muncul proses rekonsiliasi pada 2020, dan saat itu sudah dijabat kepala desa definitif. Kita minta agar mereka bekerja sama dengan Pj kepala desa sebelumnya,” ungkap Albert.
Menurutnya, DPMD telah memfasilitasi proses rekonsiliasi dengan mengundang para kepala desa—baik definitif maupun mantan Pj kepala desa. Hasil rekonsiliasi telah diserahkan ke Inspektorat, lengkap dengan nama-nama desa yang belum menyetor.
“Kami hanya memfasilitasi. Selanjutnya, hasilnya sudah kami serahkan ke Inspektorat. Setelah itu kami tidak tahu bagaimana kelanjutannya,” tegas Albert.
Namun, saat ditanya soal keadilan pemotongan ini, Albert menyatakan pandangannya secara pribadi:
“Kalau secara pribadi, pemotongan ini tidak adil bagi desa yang terdampak. Ada desa yang bahkan sampai dua kali dipotong: tahap ketiga tahun 2021 dan tahap pertama tahun 2022,” tegasnya.
*Siapa yang Menetapkan, Siapa yang Membiarkan?*
Sementara itu, mantan Inspektur Nias Selatan Emanuel Telaumbanua mengakui pernah mengikuti rapat koordinasi awal dalam proses rekonsiliasi tahun 2020. Menurutnya, pertemuan itu berlangsung di kantor DPMD dan dihadiri oleh berbagai pihak pertengahan 2021.
“Saya ingat betul, saya hadir bersama Irban Satu dari Inspektorat. Hari pertama saya ikut dari pagi sampai siang. Karena tidak ada makan siang, peserta bubar. Pertemuan dilanjutkan sore, tapi saya kembali ke kantor,” kenangnya.
Emanuel menyebut Irban Satu-lah yang melanjutkan mengikuti rapat hingga selesai. Saat itu, semua desa di Nias Selatan berada di bawah pengawasan Irban tersebut. Menariknya, ia mengaku tidak pernah menerima daftar resmi jumlah pemotongan per desa.
“Kalau Pak Sekda hadir, saya tentu tidak akan berani memerintahkan peserta menyetor uang. Dan saya sendiri tidak pernah menerima daftar lengkap hasil rekonsiliasi itu, ungkapnya.
Padahal, dalam sistem keuangan negara, potongan atas dana yang tidak bisa dipertanggungjawabkan adalah bentuk pengakuan adanya kerugian negara. Dan semestinya, kerugian negara harus ditelusuri, dicatat, dan jika perlu, diproses pidana.
“Kami hanya mengikuti proses. Tidak tahu lagi setelah itu,” kata Albert.
“Saya tidak terima datanya,” kata Emanuel.
Lalu siapa yang harus bertanggung jawab?
*Ketika Dana Kembali, Tapi Penanggung Jawab Tak Dicari*
Dalam pengelolaan anggaran negara, memotong dana bukan berarti menyelesaikan masalah. Uang bisa dikembalikan ke kas, tapi keadilan tidak bisa dipulihkan begitu saja. Apalagi jika pelaku sesungguhnya tak pernah dipanggil, apalagi diperiksa.
Proses rekonsiliasi telah berlangsung. Pemotongan sudah dilakukan. Tapi tak satu pun pejabat lama disoal. Tak satu pun lembaga pengawasan mengungkap nama.
Yang terdampak tetaplah kepala desa baru. Mereka yang tidak tahu-menahu soal dana masa lalu, tapi harus menanggung dampaknya di hadapan masyarakat. Mereka yang dituntut membangun dengan dana yang sudah lebih dulu dikurangi. (D.S)